Halaman

18 November 2007

Jangan Berduka..

Hati tenang, bahagia, dan hilangnya kegundahan adalah dambaan setiap insan.
Insan yang berakal menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah dalam bukunya, al-Wasaailu al-Mufaidah lil Hayatatis Sa’idah mengetahui bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan yang ia jalani dengan bahagia dan tenang. Kehidupan ini pendek sekali, lanjut Syaikh AS-Sa’di, maka tak sepantasnya memperpendek dengan kesedihan dan larut dalam kesusahan.

Jika seorang hamba ditimpa musibah atau takut akan sebuah musibah hendaklah membandingkan antara nikmat-nikmat yang ia dapatkan, baik dalam urusan agama atau dunia dengan musibah yang menimpanya. Dengan membandingkan akan jelas baginya betapa banyak nikmat yang dia dapatkan dan tertutupilah musibah yang menimpanya.
Selanjutnya Syaikh as-Sa’di menyarankan, hendaknya juga membandingkan antara kemungkinan bahaya yang akan menimpanya dengan banyaknya kemungkinan akan dapat selamat darinya. Jangan sampai kemungkinan yang lemah dapat mengalahkan kemungkinan-kemungkinan kuat dan banyak. Dengan demikian, akan hilanglah kesedihan dan perasaan takutnya



Juga memperkirakan hal paling besar yang dapat menimpanya, kemudian menyiapkan mental untuk menghadapi bila memang terjadi, berusaha mencegah apa-apa yang masih belum terjadi dan menghilangkan atau paling tidak meminimalisir musibah yang sudah terjadi.
Bila Tak Kesampaian
Bila seseorang dihadapkan dengan ketakutan , sakit, kekurangan atau tidak tercapai keinginannya, hendaklah dihadapi dengan tenang dan kesiapan mental, bahkan dia harus siap menghadapi keadaan yang lebih berat sekalipun, sebab, kesiapan mental dalam menghadapi musibah akan mengecilkan musibah tersebut dan menghilangkan bobotnya. Terutama bila dia berusaha melawan sesuai kemampuan, sehingga dapat memadukan antara kesiapan mental dan usaha maksimal yang dapat mengalihkan perhatian dari musibah yang akan datang. Dan yang lebih penting lagi adalah selalu memperbarui kekuatan menghadapi musibah disertai dengan tawakkal dan yakin kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala.
Jika hati bersandar kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala, bertawakal kepada-Nya, tidak menyerahkan pada prasangka-prasangka buruk juga tidak dikuasai khayalan-khayalan negative, yakin serta sungguh-sungguh berharap atas karunia Allah Subhaanahu wa Ta’Ala, maka akan terusirlah perasaan sedih dan hilanglah berbagai macam penyakit fisik dan jiwa.
Akan dicukupkan
Hati bisa mendapatkan kekuatan, kelapangan dan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan. Banyak rumah sakit yang penuh dengan pasien yag sakit karena prasangka-prasangka buruk dan khayalan-khayalan menyesatkan. Banyak orang yang kuat hatinya tapi masih terpengaruh dengan hal tersebut, apalagi orang yang memang lemah hatinya. Dan betapa sering hal tersebut menyebabkan kedunguan dan kegilaan, kata Syaikh as-Sa’di. Orang yang sehat dan selamat adalah yang diselamatkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan diberi-Nya taufik untuk berusaha mendapatkan faktor-faktor yang bisa menguatkan hatinya dan mengusi kegelisahannya.
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya”. (Ath-Thalaq: 3).
Artinya Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mencukupkan untuknya semua apa yang dia butuhkan dari urusan agama dan dunianya.
Maka orang yang bertawakal kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala, hatinya kuat. Tidak dapat dipengaruhi prasangka-prasangka buruk, tidak dapat digoncang oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi, sebab dia tahu hal itu termasuk indikasi lemahnya jiwa dan perasaan takut yang tidak beralasan. Dia tahu, Allah Subhaanahu wa Ta’Ala akan menjamin sepenuhnya orang yang bertawakal kepada-Nya, dia yakin kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala dan tenang karena percaya akan janji-Nya. Dengan demikian, hilanglah duka dan gelisah. Kesulitan berubah menjadi kemudahan, kesedihan menjadi kegembiraan dan perasaan takut menjadi keimanan.

To My Friends

"Dicintai seseorang begitu dalam memberikan kita kekuatan. Mencintai seseorang begitu dalam melahirkan keberanian. Tapi satu yang pasti, jangan sampai cinta itu melebihi cinta kita kepada SANG PEMILIK cinta sejati, Allah, satu-satunya zat yang layak dicintai sepenuh hati, sehingga tidak ada lagi ruang tuk kebencian di hatimu...."

Begitulah bunyi SMS yang saya terima tanggal 4 Mei pukul 18:35 kemarin. SMS itu dikirim oleh teman sekolah saya ketika SMU. Ia baru saja menikah beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya ia juga mengirimkan sebuah SMS tentang rasa cemburu berulang kali. Entah apa maksud di balik SMS tersebut. Saya tidak menanggapinya atau balik bertanya karena saat itu tak ada pulsa yang tersisa.

Istri saya yang juga membaca SMS tersebut meminta saya mengirim balasan. Akhirnya saya mengirim SMS balasan dengan nada sedikit bercanda.

"... Deeeeh, yang lagi jatuh cinta, berjuta rasanya......"

SMS saya pun dibalas.




"Terserah, aku gak lagi jatuh cinta, tapi lagi mengingatkan diri sendiri takut lupa..."

Lho, tidak jatuh cinta kok ngomong mencintai dan dicintai. Aneh, pikir saya. Untuk mengingatkan diri sendiri kok mengirimkan SMS ke orang lain, bukannya itu untuk mengingatkan orang lain. Saya jadi berpikir bahwa dia benar-benar sedang jatuh cinta. Benarkah pikiran saya itu? Wallahu a'lam.

--------------oooooooooo00000oooooooooo--------------

Rasa cinta merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada seorang laki-laki kepada seorang wanita yang menjadi pasangan hidupnya, dan sebaliknya setelah keduanya melewati pintu pernikahan. Cinta keduanya telah sah. Apa yang haram sebelumnya sudah berubah menjadi 100% halal.

kepadanya, cintailah
kepadanya, sayangilah
karena ia adalah anugerah
aku mencintaimu karena Allah, katakanlah

Tinggal bagaimana kita me-manage rasa cinta dan sayang tersebut agar rasa tersebut tidak melebihi cinta kita kepada Allah. Wallahu a'lam.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Anas ra, bahwa Nabi talah bersabda : ”Tiga perkara, barang siapa yang tiga hal tersebut berada dalam dirinya maka ia akan mendapatkan manisnya iman; hendaknya Allah dan RasulNya lebih ia cintai daripada selainnya, hendaklah ia mencintai seseorang dan tidak mencintainya kecuali hanya karena Allah, dan hendaklah ia benci kembali kepada kekafiran seperti kebenciannya bila dilemparkan kedalam api.”

“Siapa saja yang memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, berarti ia telah sempurna imannya.” (HR al-Hakim).

“Ada tujuh (golongan) yang mendapatkan naungan Allah, saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; penguasa yang adil, laki-laki yang mengingat Allah secara menyendiri kemudian air matanya mengalir, laki-laki yang hatinya tertambat dengan masjid saat ia keluar daripadanya sampai ia kembali lagi, dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, laki-laki yang menyembunyikan sedekahnya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikeluarkan oleh tangan kanannya, pemuda yang tumbuh (dengan senantiasa) beribadah kepada Allah serta laki-laki yang diajak oleh wanita yang berpangkat dan jelita (tetapi) ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’.”